Senin, 05 Januari 2015

Laporan Buku



LAPORAN BUKU PADA NOVEL
BERJUDUL JANGAN BUANG IBU, NAK...
KARYA WAHYU DERAPRIYANGGA 




Vira Mustika Satya Irada
NIS. 2084
X MIA 1

  

SMA Negeri 10 Samarinda






Laporan Buku



v    Judul Buku             : Jangan Buang Ibu, Nak...
v    Nama Pengarang    : Wahyu Derapriyangga.
v    Nama Penerbit        : Wahyu Qolbu.
v    Tahun Terbit           : 2014.
v    Jumlah Halama       : 209.



















Kata Pengantar 

            Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga saya dapat menyelesaikan laporan ini. Dalam pembuatan laporan ini, tentu tidak berjalan dengan cepat melainkan memerlukan kurun waktu yang tidak sebentar. Namun berkat kegigihan serta bantuan dari beberapa pihak, akhirnya laporan ini dapat terselesaikan juga. Berkat bantuan tersebut, pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1.        Kedua orang tua dirumah yang telah memberikan bantuan materil maupun do’anya, sehingga pembuatan laporan ini dapat terselesaikan;

2.        Bapak Masrani, sebagai guru pembimbing mata pelajaran Bahasa Indonesia yang telah banyak membantu sehingga pembuatan laporan ini dapat berjalan lancar;

3.        Teman-teman yang telah memberi semangat kepada saya, sehingga laporan ini bisa selesai dengan baik. Dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang membantu pembuatan makalah ini.

            Akhir kata semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Saya menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saya menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata saya sampaikan terimakasih.


Samarinda, 20 Nopember 2014


Penulis
  







Pendahuluan

            Dalam pembelajaran kebahasaan terutama mata pelajaran Bahasa Indonesia, cukup membuka cakrawala pengetahuan saya mengenai hal-hal nyata khususnya di sekitar kita. Mata pelajaran ini juga bukan hanya mengajarkan pada kami mengenai hal penulisan menggunakan EYD ataupun mengenai bagaimana cara pembuatan makalah secara sistematis. Kita disini juga telah diajarkan untuk mengetahui bagaimana luasnya cakrawala kehidupan yang pada kenyataannya sedang kita jalani.

            Sebenarnya hal ini bukanlah hal yang langka atau jarang kita dengar. Tetapi, karena kesadaran serta tingkat kepedulian yang rendah, membuat hal ini terlihat sepele. Hal itu adalah kurangnya rasa belas kasih serta balas budi terhadap kedua orang tua, terutama ibu. Ya, memang benar sosok kedua orang tua tidak pernah meminta balas budi si anak. Namun si anak tentu akan salah, saat semua hasil jerih payah serta pengorbanan kedua orang tuanya tidak dihargai.

            Orang tua memang tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Akan tetapi, apa salah jika kita menyadari seberapa besar pengorbanan mereka terhadap kita? Tidakkah ada rasa ingin membalas kebaikan mereka di dalam benak seorang anak itu? Semua akan terlihat jelas, diamana letak kesalahan seorang anak yang akan digambarkan dalam kisah hidup keluarga Restiana.




Uraian

´  GAMBARAN KASUS


ü  Semua berasal dari perjuangan keras seorang Restiana sebagai seorang ibu dengan ketiga anaknya. Dengan meninggalnya sang suami, membuat Restiana harus berjuang seorang diri. Dan hanya berbekal sebuah pesan dari mendiang suaminya.


1.      “Ayah kenapa, Nak? Apa yang terjadi dengan Ayahmu?” Aku kembali menanyakan apa yang terjadi. Kali ini air mataku sudah tak tertahan.
“Ayah kecelakaan, Bu....” Ucapnya terbata-bata.
Hanya itu kalimat terakhir yang kudengar. Tubuhku lemas, lonceng kematian telah berdentang di telingaku. Sebuah pasak telah menusuk jantungku. Kepalaku terasa berat dan semakin berat seiring dengan gelapnya pandanganku. (Hal. 12)

2.      Betapa pun kerasnya cobaan, betapapun sulitnya rintangan, jangan menyerah. (Hal. 11)



ü  Berkat perjuangan Restiana, ketiga anaknya yang mulai menginjak masa remaja serta dewasa, tetap masih bisa bersekolah. Sulung yang kini telah memiliki hubungan dengan seorang gadis dan meski pernyataan yang tidak memihak pada hubungan mereka Ditemani dengan Bu Sumi, sahabat Restiana yang akrab dipanggil bunda oleh ketiga anaknya. Namun waktu ternyata tidak menakdirkan mereka untuk terus bersama. Hal itu dikarenakan meninggalnya Bu Sumi.


1.      “Wulan, maaf ya jika aku sering mengecewakanmu. Sungguh aku serius dengan hubungan kita.” Ucap Sulung di sela-sela perbinncangannya.
“Saat ini aku memang bukan siapa-siapa, tapi aku janji akan berusaha untukmu. Setelah lulus SMA, aku akan mencari pekerjaan yang layak dan aku akan menemui orang tuamu. Dan kuharap kau mengerti kondisiku saat ini.” Tambahnya. (Hal.56)
2.      Cintanya pada Wulan harus berakhir karena terhalang restu orang tua. (Hal. 57)
 
3.      “Iya , Bu. Saya sangat sayang sama Wulan.” (Hal. 61)

4.      “Saya dapat memahami apa keinginan Bapak dan Ibu. Saya mengawali hubungan dengan Wulan secara baik-baik. Kalaupun cerita ini harus berakhir, maka saya akan mengakhirinya secara baik pula.” Sulung menatap ke arah Wulan sebelum akhirnya dia menutup kalimatnya. (Hal.68)



ü  Tiba disaat sahabat terbaik Restiana, Bu Sumi, mulai sakit-sakitan. Tak berselang waktu lama, Bu Sumi yang akrab dipanggil bunda oleh ketiga anak Restiana ini pun menghembuskan napas terakhirnya. Terakhir, mereka baru mengetahui bahwa Bu Sumi telah lama mengidap suatu penyakit berat dan tidak tega untuk memberitahu pada keluarga Restiana, lantaran tak ingin menambah beban mereka. Demikianlah persahabatan yang sangat mengharukan, saling menjaga, mengerti dan menyayangi atas dasar apapun.


1.      Tiba-tiba di belakang kami ada sebuah ambulan yang melaju dengan kecepatan kencang. Ia berjalan membelah arus kendaraan yang cukup padat. Saat ambulan lewat tepat disamping kami, suaranya begitu memekakkan telinga. Kutatap ambulan itu sampai ia hilang ditelan oleh tikungan.

2.      “Ibu dan anak-anak mencari Bu Sumi dan Pak Hasan, ya?” Tanyanya kepada kami.(Hal. 82)

3.      Kulihat tangan kanannya diangkat lalu perlahan tangan itu bergerak memberiku sebuah isyarat untuk lebih mendekat. Kugeser kaki mendekatinya, secara perlahan dan hati-hati ia dekatkan wajahnya padaku lalu beberapa kalimat dibisikkannya. Kalimat demi kalimat masuk ke dalam telingaku, menembus relung jiwa dan menusuk tepat ke dalam jantungku. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan, mendadak tubuhku melayang, pandanganku kabur, dunia serasa berputar dengan kencang. Aku sulit bernapas dan dadaku sesak. Sesaat kemudian terasa gelap bagiku, sunyi. Tidak ada lagi suara yang terdengar dan tidak ada lagi embusan angin kurasa, semuanya gelap dan hanya kehampaan yang kurasakan. (Hal. 83-84)

4.      Aku terus mengikuti langkah Sulung. Dari kejauhan dapat kulihat dengan jelas sebuah tulisan di atas pintu utama bangsal tersebut “INSTALASI RAWAT INAP PENYAKIT DALAM”. (Hal. 86)

5.      “Maafkan kami, ini permintaannya sendiri. Ia tak ingin kalian khawatir. Ia ingin kalian tetap berangkat ke pentas Bungsu.” Pak Hasan mencoba menjelaskan peristiwa tadi pagi. (Hal. 87)

6.      “Dia memiliki masalah dengan syaraf di kepalanya. Dokter menyebutnya dengan kanker otak.” (Hal. 87)

7.      Selama ini Bu Sumi selalu hadir dan membantu dalam setiap masalah yang kualami. Ia selalu menjadi pendengar yang setia dalam setiap keluh kesahku, namun tak pernah ia bagi penderitaannya kepada kami. Semua sakit dan derita yang ia rasakan dipendam dan disembunyikan jauh-jauh dari hadapan kami. (Hal. 88-89)

8.      “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Ucap Pak Hasan lirih. Seketika ia bersimpuh duduk di atas lantai. Air matanya jatuh tak terbendung. (Hal. 91)



ü     Beberapa tahun setelah kepergian Bu Sumi, dimana Sulung kini telah lus SMA. Demi kuliah anak pertamanya, Restiana telah merancang bagaimana kehidupan yang akan mereka tempuh selanjutnya. Meski dengan adanya rencana tersebut, mengharuskan Bungsu, anak ketiga Restiana putus sekolah. Dan perjuangan yang mereka lakukan sangatlah memerlukan perjuangan berat serta kekompakan antar anggota keluarga. Disaat itu juga, anak kedua Restiana, Tengah, kini telah bersama dengan Euis. Dan mereka telah membangun keluarga terlebih dahulu. Semua ini dilakukan Restiana Semata-mata hanya untuk kesuksesan anak-anaknya.


1.      “LULUS!” Kamu lulus, Nak. Alhamdulillah..” Ucapku begitu mengetahui anakku lulus. (Hal. 96)

2.      “Nak, jika nanti kamu lulus tes masuk perguruan tinggi, rumah beserta isinya akan Ibu jual untuk membiayai kuliahmu.” Ucapku mencoba menjelaskan. (Hal. 97)

3.      Sebagai Ibu, aku hanya berharap semoga Sulung tidak menyia-nyiakan pengorbanan yang telah kulakukan untuknya. (Hal. 100)



ü     Setelah berjuang untuk hidup ditempat baru yang sangat berat, tanpa disangka semua usaha yang Restiana serta keluarga lakukan membuahkan hasil yang luar biasa. Dengan hal itu, tidak membuat hati Restiana berhenti begitu saja, menekuni apa yang ada. Restiana malah mengembangkan dengan rencana untuk beternak ikan lele, namun dengan modal seadanya membuat Restiana harus melakukan peminjaman di bank. Lalu, tanpa disangka Restiana yang bersama bungsu pun bertemu dengan gadis pertama yang disukai oleh Sulung.


1.     Aku tak ingin menerima uluran tangannya secara cuma-cuma tanpa ada usaha. (Hal. 102)

2.      “Aku yakin, Bu... ia adalah gadis yang baik. Aku yakin Euis dapat menjadi menantu yang baik untuk ibu, juga kakak yang baik bagi bungsu. Ibu juga sudah tua, aku tidak mau Ibu pergi sebelum aku menikah. Dan satu lagi, Bu, aku yakin Euis akan menjadi menantu yang pandai merawat masa tua ibu. Percayalah! (Hal. 123)

3.      Kami tidak menunggu terlalu lama untuk segera menikahkan Tengah dan Euis. Satu bulan setelah Euis kulamar, pernikahan antara keduanya pun dilaksanakan di Kantor Urusan Agama. Semua berjalan dengan sangat sederhana. (Hal.124)

4.      Sulung tidak dapat menghadiri pernikahan adiknya karena sedang mempersiapkan diri mengikuti ujian semester. Namun beberapa hari sebelumnya ia mengirimkan seperangkat alat shalat dan Al Quran. (Hal. 124-125)

5.      “Kamu tidak perlu meminta maaf, Anakku. Belajarlah yang giat. Kamu tak perlu mengantar Ibu, tapi jemputlah Ibu ketika kau telat sarjana nanti. Ayah dan Ibu akan bangga melihatmu.” (Hal.129)

6.      Perjuangan untuk dapat bertahan di tanah ini tidaklah mudah. Butuh kerja keras, kesabaran, ketekunan serta gotong royong antar semua transmigran. (Hal. 132)

7.      Dalam segala upaya, kami mencoba bangkit. Kami belajar dari pengalaman untuk meraih hasil panen yang lebih baik. (Hal. 138)

8.      “Silakan masuk, Bu.” Karyawati ini membukakan pintu. Dengan sikap penuh hormat, ia mempersilakan kami masuk. (Hal. 154)

9.      “Kak Wulan...” Tiba-tiba Bungsu memanggil nama itu. (Hal.155)



ü  Dan kini Sulung telah lulus kuliah. Namun terjadinya hal itu masih membuat Restiana sedih berkelanjutan. Semua disebabkan karena ditengah-tengah perjuangannya, ia kini malah jarang mendapatkan kabar dari anak pertamanya, Sulung.


1.      Menurut isi surat dalam genggamanku, saat ini Sulung bersama tiga temannya telah berangkat ke Malaysia. (Hal. 143)

2.      “Apa yang baru kupikirkan? Tidak mungkin Sulung melupakan ibunya! Ia sangat sayang dan cinta padaku. Tentu ia memutuskan kepergiannya dengan tergesa dengan kondisi yang memaksa. Mungkin perusahaan tersebut tidak memberinya banyak waktu dan pilihan.” Berbagai spekulasi muncul dari dalam benakku.

3.      “Ya Allah... lindungilah putraku, ampuni segala dosa dan khilafnya. Ya Allah, ingatkanlah dirinya ketika lupa, tegurlah ketika ia lalai, dan bimbinglah ia ketika tersesat. Ya Allah, sungguh aku mencintainya, dan kepada-Mu kutitipkan keselamatannya.” Sebuah doa kupanjatkan kepada-Nya.


               
ü  Disusul pernikahan Bungsu dengan Junaedi Ansor salah satu anggota ABRI. Hal inilah yang akhirnya membawa Restiana berpindah tempat tinggal dari Tengah. Dengan kabar yang tak kunjung datang dari Sulung, membuat Restiana resah. Karena setelah bertahun-tahun Sulung tak lagi mengirim surat, kabar terakhir adalah Sulung telah lulus kuliah dan bekerja di Malaysia dengan beberapa temannya.


1.      Sayang aku tidak dapat memberi kabar kepada Sulung mengenai hari bahagia ini. Aku sendiri sudah tidak tahu lagi keberadaannya saat ini. (Hal. 168)

2.      “...Pesan Ibu, ‘jadilah istri yang baik, muliakanlah suamimu karena disitu ada surgamu, jangan pernah engkau putus asa dalam masa-masa sulit, dan janganlah engkau terlena dalam kegembiraan, dan selalulah kalian bertaqwa kepada-Nya. Doa ibu selalu bersama kalian...” Pesanku pada Bungsu. (Hal. 170)

3.      Setelah Bungsu menikah, aku diajak tinggal bersama mereka. Bukan di Bengkulu melainkan di Yogyakarta. (Hal. 171)




ü  Tanpa disangka ternyata Sulung terjerat sebuah kasus selama ini. Kasus ini membuat hati Restiana mengalami guncangan lantaran tak menerima pernyataan bahwa Sulung ternyata tidak pernah menamatkan kuliahnya, melainkan melakukan hal yang tidak terpuji. Hal inilah yang kemudian membuat Restiana mengalami kekecewaan. Apalah arti dari semua perjuangannya selama ini?


1.      Sejak saat itu aku jatuh sakit. Hampir seluruh hari hanya kuhabiskan di atas kasur pembaringan. (Hal.182)

2.      Kuteguk habis obat pemberiannya. Bukan karena aku mengharap kesembuhan, melainkan karena aku tak ingin melihat anakku ini bersedih. Sejujurnya aku sudah tidak memedulikan keadaanku. (Hal. 183)

3.      “Maaf, Bu. Semua memang benar demikian adanya. Bahkan dahulu, ia sempat tertangkap namun kemudian melarikan diri. Saat ini kami sudah mengerahkan seluruh jajaran di daerah agar bisa membengkuknya. Mohon agar Bapak dan Ibu bersedia memberikan informasi kepada kami jika suatu saat Erlang, alias Boy, alias Sulung bin Handoko Suwarno menghubungi kalian.” Ucap salah seorang tamu dengan cukup tegas.
“Tetapi, Pak, yang kami tahu, Kakak ada di Malaysia. Dia selesai kuliah lalu pergi ke Malaysia...” kembali aku mendengar suara Bungsu yang sedang berbicara dengan polisi.
“Maaf, Bu. Menurut data dan penyelidikan kami, Kakak Ibu yang Bernama Sulung memang sempat kuliah, namun dia tidak pernah menyelesaikannya. Data yang kami peroleh, dia mulai terlibat dalam beberapa kasus pencurian kecil sejak berhenti dari kuliahnya. Dan sejak tahun 1993, dia menjadi buronan karena terlibat dalam sindikat peredaran narkotika bersama dengan kawan-kawannya. Dia selalu berpindah-pindah dalam menjalankan operasinya sehingga kami kesulitan untuk melacaknya. Untuk itu, kami mohon bantuan dari seluruh anggota keluarga agar dapat bekerjasama. Akan lebih baik apabila dia menyerahkan diri.” Jelas sang polisi panjang lebar. (Hal. 185-187)

4.      Demi melihat kenyataan ini aku begitu shock. Entah apa yang kemudian terjadi, tiba-tiba tubuhku berguncang hebat. Aku tak bisa lagi melihat, semuanya menjadi gelap. (Hal. 188)

5.      “Ibu yang sabar, ya. Menurut Dokter, Ibu terkena stroke.” Jelas Bungsu singkat dengan suara yang sangat berat. (Hal. 189)

6.      “Astagfirullah, cobaan apa lagi yang Kau berikan pada hamba, Ya Allah. Ampuni hamba atas segala khilaf yang telah kulakukan.” Ucapku di dalam batin. (Hal. 189)

7.      Sulung ternyata telah mengoyak tirai kasih dan kepercayaan yang kuberikan padanya. (Hal. 190)

8.      Hanya kebohongan semata yang ia kabarkan, dan hanya gelas kosong yang ia jadikan pelega dahagaku. (Hal. 190)




ü  Ketika Restiana telah memasuki rumah sakit, karena keadaannya yang semakin hari semakin memburuk. Ternyata Junaedi mendapatkan amanah untuk berpindah tempat tinggal demi menjalankan tugasnya. Bungsu pun tak bisa jika harus meninggalkan Junaedi sendirian. Akhirnya mereka pun sepakat untuk menaruh Restiana di tempat yang sangat jauh dari ketiga anaknya. Dan di tempat itulah Restiana menghembuskan napas terakhirnya tanpa didampingi oleh salah satu anaknya. Akhir hidup Restiana tanpa satu orang pun anaknya membuatnya seakan kecewa dan sedih.


1.      “Saya mendapat surat tugas dari atasan langsung dari pusat.” Ucap Junaedi sambil menyerahkan secarik kertas pada Bungsu. (Hal. 192)

2.      “Maafkan Bungsu, Bu, kami belum cerita. Kami akan pindah, Bu.” Jelasnya. (Hal. 192)

3.      “Ibu... apapun yang kami lakukan, kumohon Ibu percaya pada kami.” Tiba-tiba Bungsi bicara dengan nada yang sedikit berat dan dipaksakan. (Hal. 195)

4.      “Tempat apakah ini? Mengapa Bungsu membawaku ke sini? Hatiku bertanya-tanya.” (Hal.197)

5.      “Panti Werdha Dharma Sejahtera” sebuah papan nama yang kubaca membuat tenggorokanku tiba-tiba tercekat. Seluruh tubuhku mendadak lemas. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Kini aku paham apa maksud mereka membawaku ke sini.
“Ya Tuhan, inikah kehendak-Mu?” Tanyaku dalam hati.
“Maafkan aku, Bu... Mas Junaedi dapat tugas di Aceh. Aku tidak punya pilihan. Aku harus mendampinginya, Bu...” Ucap Bungsu sambil menangis.
“Maafkan kami, Bu, perjalanan ini terlalu jauh dan berbahaya. Kami tak sampai hati membawamu.” Ucap menantuku ini. (Hal. 198)
 
6.      “Ibu... kami sayang padamu. Bungsu yakin ini yang terbaik bagimu. Maafkan kami, Bu. Bungsu tidak bisa merawatmu lagi. Bungsu harus menemani Kak Junaedi bertugas.” Bungsu mencoba memberi penjelasan demi penjelasan.
“Kkkak Ttengah kkmmna?” Tanyaku pada Bungsu tentang Tengah.
“Maaf, Bu. Aku tidak bisa mengantarkan Ibu ke Kak Tengah. Jarak antara Yogyakarta dengan Bengkulu terlalu jauh, aku harus segera berangkat ke Aceh.” Jawabnya dengan derai air mata. (Hal. 199)

7.      Begitupun dengan Tengah, ia juga belum pernah sekali pun menghubungiku. (Hal.200)

8.      Aku masih belum menerima semua ini dengan lapang hati. Aku masih belum yakin kalau anak-anakku tega melakukan semua ini padaku. (Hal. 201)

9.      Mungkin mereka semua telah hidup nyaman dan lupa dengan perjuangan yang telah kulakukan untuk mereka. (Ha.201)

10.  Aku sudah mendidik mereka seperti yang kau minta. Tapi ternyata mereka semua lupa akan diriku. Mereka lupa dengan perjuangan yang telah kita lakukan selama ini. (Hal.202)

11.  Tanggal 10 September 2011. Kabut duka menyelimuti Panti Werdha Dharma Sejahtera. Salah satu penghuni panti itu telah meninggal dunia. Ya, Restiana. Tepat di hari itu, Restiana akhirnya meninggal dunia tanpa seorang anak pun di sampingnya. (Hal.205)






Kesimpulan

            Berdasarkan kisah yang telah saya baca pada novel yang berjudul “Jangan Buang Ibu, Nak...” menggambarkan sikap seorang anak yang tidak berterima kasih pada ibunya. Kasih sayang tulus yang telah Restiana berikan, seakan-akan hanya angin berlalu bagi ketiga anaknya. Semua hasil kerja kerasnya seakan-akan tidak bernilai. Hal inilah yang membuat Restiana semakin tidak mengerti mengapa semua kebaikan yang telah ia lakukan mendapatkan hasil yang seperti ini. Hingga di akhir hidupnya, ia harus berada di suatu tempat, dimana terdapat banyak orang sebaya dengannya yang bernasib sama, yaitu karena anaknya yang tidak mampu merawatnya lagi.
           
            Novel yang telah dikarang oleh Wahyu Derapriyangga yang berjumlah 209 halaman ini telah dirancang sedemikian baik. Tata bahasanya yang mudah dipahami, letak dan cara penulisannya, serta desain covernya yang menarik membuat para pembaca sangat antusias dan tertarik akan kisah yang telah disuguhkan oleh penulis. Kekurangan pada novel ini hanya terletak pada warna kertas yang kurang cerah.

            Dengan membaca novel ini, membuat seorang anak menjadi sadar akan kerja keras seorang ibu terhadap kesuksesannya kelak. Hingga tidak membuat si anak tersebut lupa diri. Apa yang telah seorang ibu berikan itu semua tulus untuk si anak. Maka dari sekarang, berusahalah bersikap baik dengan ibu kita. Jangan pernah sia-siakan ibu kita. Rawatlah ibu kita meski beliau sudah tidak mampu menegakkan kedua kakinya lagi. Sayangilah beliau meski kerutan-kerutan wajah yang nampak terlihat banyak itu membuatnya tidak secantik rupanya yang dulu. Peluklah beliau, seakan-akan kita memberi isyarat padanya bahwa kita masih ada bersamanya dan akan menemaninya hingga akhir hidupnya.




















Penutup

            Demikianlah laporan buku yang telah saya buat berdasarkan hasil observasi pada sebuah karya tulis berupa novel. Novel ini menceritakan tentang kisah kehidupan sehari-hari. Dengan membaca serta menghayati setiap kejadian yang terjadi, maka akan memiliki nilai-nilai positif untuk para pembaca.

            Dalam pembuatan laporan buku ini tentunya memerlukan ketelitian, ketelatenan serta kesabaran yang tinggi. Setiap tahapan selalu saya konsultasikan dengan guru pembimbing saya. Hal ini saya lakukan agar dalam penulisan serta tata bahasanya dapat lebih sistematis dan saat penyajiannya dapat diterima dengan baik.

            Namun saya menyadari bahwa disetiap pekerjaan atau tugas yang saya lakukan masih jauh dari kesempurnaan. Saya juga masih dalam proses belajar, maka akan lebih baik jika para pembaca berkenan memberikan kritik serta saran yang dapat membangun. Agar kedepannya, laporan buku yang telah saya buat dapat lebih baik lagi.





Daftar Pustaka

Derapriyangga, Wahyu. 2014. Jangan Buang Ibu, Nak. Jakarta: Wahyu Qolbu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar