LAPORAN BUKU PADA NOVEL
BERJUDUL JANGAN BUANG IBU, NAK...
KARYA WAHYU DERAPRIYANGGA
Vira Mustika Satya Irada
NIS. 2084
X MIA 1
SMA Negeri 10 Samarinda
Laporan Buku
v Judul
Buku : Jangan Buang Ibu, Nak...
v Nama
Pengarang : Wahyu Derapriyangga.
v Nama Penerbit : Wahyu Qolbu.
v Tahun Terbit : 2014.
v Jumlah Halama
: 209.
Kata Pengantar
Segala puji bagi
Allah, Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga saya dapat menyelesaikan
laporan ini. Dalam pembuatan laporan ini, tentu tidak berjalan dengan
cepat melainkan memerlukan kurun waktu yang tidak sebentar. Namun berkat kegigihan serta bantuan dari beberapa pihak, akhirnya laporan ini dapat terselesaikan juga. Berkat bantuan tersebut, pada kesempatan
ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Kedua orang tua dirumah yang telah memberikan bantuan materil maupun do’anya,
sehingga pembuatan laporan ini dapat terselesaikan;
2.
Bapak Masrani, sebagai guru pembimbing mata pelajaran Bahasa Indonesia yang telah banyak membantu sehingga pembuatan laporan ini dapat berjalan lancar;
3.
Teman-teman yang telah memberi semangat kepada
saya, sehingga laporan ini bisa selesai dengan baik. Dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang
membantu pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi para
pembaca. Saya menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saya menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah
kesempurnaan. Akhir kata saya sampaikan terimakasih.
Samarinda, 20 Nopember
2014
Penulis
Pendahuluan
Dalam
pembelajaran kebahasaan terutama mata pelajaran Bahasa Indonesia, cukup membuka
cakrawala pengetahuan saya mengenai hal-hal nyata khususnya di sekitar kita.
Mata pelajaran ini juga bukan hanya mengajarkan pada kami mengenai hal
penulisan menggunakan EYD ataupun mengenai bagaimana cara pembuatan makalah
secara sistematis. Kita disini juga telah diajarkan untuk mengetahui bagaimana
luasnya cakrawala kehidupan yang pada kenyataannya sedang kita jalani.
Sebenarnya
hal ini bukanlah hal yang langka atau jarang kita dengar. Tetapi, karena
kesadaran serta tingkat kepedulian yang rendah, membuat hal ini terlihat
sepele. Hal itu adalah kurangnya rasa belas kasih serta balas budi terhadap
kedua orang tua, terutama ibu. Ya, memang benar sosok kedua orang tua tidak
pernah meminta balas budi si anak. Namun si anak tentu akan salah, saat semua
hasil jerih payah serta pengorbanan kedua orang tuanya tidak dihargai.
Orang tua
memang tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Akan tetapi, apa salah jika
kita menyadari seberapa besar pengorbanan mereka terhadap kita? Tidakkah ada
rasa ingin membalas kebaikan mereka di dalam benak seorang anak itu? Semua akan
terlihat jelas, diamana letak kesalahan seorang anak yang akan digambarkan
dalam kisah hidup keluarga Restiana.
Uraian
´ GAMBARAN KASUS
ü Semua berasal dari
perjuangan keras seorang Restiana sebagai seorang ibu dengan ketiga anaknya.
Dengan meninggalnya sang suami, membuat Restiana harus berjuang seorang diri.
Dan hanya berbekal sebuah pesan dari mendiang suaminya.
1.
“Ayah kenapa, Nak? Apa yang terjadi dengan Ayahmu?” Aku kembali menanyakan apa
yang terjadi. Kali ini air mataku sudah tak tertahan.
“Ayah kecelakaan, Bu....” Ucapnya
terbata-bata.
Hanya itu kalimat terakhir yang
kudengar. Tubuhku lemas, lonceng kematian telah berdentang di telingaku. Sebuah
pasak telah menusuk jantungku. Kepalaku terasa berat dan semakin berat seiring
dengan gelapnya pandanganku. (Hal. 12)
2. Betapa
pun kerasnya cobaan, betapapun sulitnya rintangan, jangan menyerah. (Hal. 11)
ü Berkat perjuangan Restiana,
ketiga anaknya yang mulai menginjak masa remaja serta dewasa, tetap masih bisa
bersekolah. Sulung yang kini telah memiliki hubungan dengan seorang gadis dan
meski pernyataan yang tidak memihak pada hubungan mereka Ditemani dengan Bu
Sumi, sahabat Restiana yang akrab dipanggil bunda oleh ketiga anaknya. Namun
waktu ternyata tidak menakdirkan mereka untuk terus bersama. Hal itu dikarenakan
meninggalnya Bu Sumi.
1.
“Wulan, maaf ya jika aku sering mengecewakanmu. Sungguh aku serius dengan
hubungan kita.” Ucap Sulung di sela-sela perbinncangannya.
“Saat ini aku memang bukan siapa-siapa, tapi aku janji akan
berusaha untukmu. Setelah lulus SMA, aku akan mencari pekerjaan yang layak dan
aku akan menemui orang tuamu. Dan kuharap kau mengerti kondisiku saat ini.”
Tambahnya. (Hal.56)
2.
Cintanya pada Wulan harus berakhir karena terhalang restu orang tua. (Hal. 57)
3.
“Iya , Bu. Saya sangat sayang sama Wulan.” (Hal. 61)
4.
“Saya dapat memahami apa keinginan Bapak dan Ibu. Saya mengawali hubungan
dengan Wulan secara baik-baik. Kalaupun cerita ini harus berakhir, maka saya
akan mengakhirinya secara baik pula.” Sulung menatap ke arah Wulan sebelum
akhirnya dia menutup kalimatnya. (Hal.68)
ü Tiba disaat sahabat terbaik
Restiana, Bu Sumi, mulai sakit-sakitan. Tak berselang waktu lama, Bu Sumi yang
akrab dipanggil bunda oleh ketiga anak Restiana ini pun menghembuskan napas
terakhirnya. Terakhir, mereka baru mengetahui bahwa Bu Sumi telah lama mengidap
suatu penyakit berat dan tidak tega untuk memberitahu pada keluarga Restiana,
lantaran tak ingin menambah beban mereka. Demikianlah persahabatan yang sangat
mengharukan, saling menjaga, mengerti dan menyayangi atas dasar apapun.
1.
Tiba-tiba di belakang kami ada sebuah ambulan yang melaju dengan kecepatan
kencang. Ia berjalan membelah arus kendaraan yang cukup padat. Saat ambulan
lewat tepat disamping kami, suaranya begitu memekakkan telinga. Kutatap ambulan
itu sampai ia hilang ditelan oleh tikungan.
2.
“Ibu dan anak-anak mencari Bu Sumi dan Pak Hasan, ya?” Tanyanya kepada
kami.(Hal. 82)
3.
Kulihat tangan kanannya diangkat lalu perlahan tangan itu bergerak memberiku
sebuah isyarat untuk lebih mendekat. Kugeser kaki mendekatinya, secara perlahan
dan hati-hati ia dekatkan wajahnya padaku lalu beberapa kalimat dibisikkannya.
Kalimat demi kalimat masuk ke dalam telingaku, menembus relung jiwa dan menusuk
tepat ke dalam jantungku. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan, mendadak
tubuhku melayang, pandanganku kabur, dunia serasa berputar dengan kencang. Aku
sulit bernapas dan dadaku sesak. Sesaat kemudian terasa gelap bagiku, sunyi.
Tidak ada lagi suara yang terdengar dan tidak ada lagi embusan angin kurasa,
semuanya gelap dan hanya kehampaan yang kurasakan. (Hal. 83-84)
4. Aku
terus mengikuti langkah Sulung. Dari kejauhan dapat kulihat dengan jelas sebuah
tulisan di atas pintu utama bangsal tersebut “INSTALASI RAWAT INAP PENYAKIT
DALAM”. (Hal. 86)
5.
“Maafkan kami, ini permintaannya sendiri. Ia tak ingin kalian khawatir. Ia
ingin kalian tetap berangkat ke pentas Bungsu.” Pak Hasan mencoba menjelaskan
peristiwa tadi pagi. (Hal. 87)
6.
“Dia memiliki masalah dengan syaraf di kepalanya. Dokter menyebutnya dengan
kanker otak.” (Hal. 87)
7.
Selama ini Bu Sumi selalu hadir dan membantu dalam setiap masalah yang kualami.
Ia selalu menjadi pendengar yang setia dalam setiap keluh kesahku, namun tak
pernah ia bagi penderitaannya kepada kami. Semua sakit dan derita yang ia
rasakan dipendam dan disembunyikan jauh-jauh dari hadapan kami. (Hal. 88-89)
8. “Innalillahi
wa inna ilaihi rojiun.” Ucap Pak Hasan lirih.
Seketika ia bersimpuh duduk di atas lantai. Air matanya jatuh tak terbendung.
(Hal. 91)
ü Beberapa
tahun setelah kepergian Bu Sumi, dimana Sulung kini telah lus SMA. Demi kuliah anak
pertamanya, Restiana telah merancang bagaimana kehidupan yang akan mereka
tempuh selanjutnya. Meski dengan adanya rencana tersebut, mengharuskan Bungsu,
anak ketiga Restiana putus sekolah. Dan perjuangan yang mereka lakukan
sangatlah memerlukan perjuangan berat serta kekompakan antar anggota keluarga.
Disaat itu juga, anak kedua Restiana, Tengah, kini telah bersama dengan Euis.
Dan mereka telah membangun keluarga terlebih dahulu. Semua ini dilakukan
Restiana Semata-mata hanya untuk kesuksesan anak-anaknya.
1.
“LULUS!” Kamu lulus, Nak. Alhamdulillah..” Ucapku begitu mengetahui anakku
lulus. (Hal. 96)
2.
“Nak, jika nanti kamu lulus tes masuk perguruan tinggi, rumah beserta isinya
akan Ibu jual untuk membiayai kuliahmu.” Ucapku mencoba menjelaskan. (Hal. 97)
3.
Sebagai Ibu, aku hanya berharap semoga Sulung tidak menyia-nyiakan pengorbanan
yang telah kulakukan untuknya. (Hal. 100)
ü Setelah berjuang untuk hidup
ditempat baru yang sangat berat, tanpa disangka semua usaha yang Restiana serta
keluarga lakukan membuahkan hasil yang luar biasa. Dengan hal itu, tidak
membuat hati Restiana berhenti begitu saja, menekuni apa yang ada. Restiana
malah mengembangkan dengan rencana untuk beternak ikan lele, namun dengan modal
seadanya membuat Restiana harus melakukan peminjaman di bank. Lalu, tanpa
disangka Restiana yang bersama bungsu pun bertemu dengan gadis pertama yang
disukai oleh Sulung.
1. Aku tak
ingin menerima uluran tangannya secara cuma-cuma tanpa ada usaha. (Hal. 102)
2.
“Aku yakin, Bu... ia adalah gadis yang baik. Aku yakin Euis dapat menjadi
menantu yang baik untuk ibu, juga kakak yang baik bagi bungsu. Ibu juga sudah
tua, aku tidak mau Ibu pergi sebelum aku menikah. Dan satu lagi, Bu, aku yakin
Euis akan menjadi menantu yang pandai merawat masa tua ibu. Percayalah! (Hal.
123)
3.
Kami tidak menunggu terlalu lama untuk segera menikahkan Tengah dan Euis. Satu
bulan setelah Euis kulamar, pernikahan antara keduanya pun dilaksanakan di
Kantor Urusan Agama. Semua berjalan dengan sangat sederhana. (Hal.124)
4.
Sulung tidak dapat menghadiri pernikahan adiknya karena sedang mempersiapkan
diri mengikuti ujian semester. Namun beberapa hari sebelumnya ia mengirimkan
seperangkat alat shalat dan Al Quran. (Hal. 124-125)
5.
“Kamu tidak perlu meminta maaf, Anakku. Belajarlah yang giat. Kamu tak perlu
mengantar Ibu, tapi jemputlah Ibu ketika kau telat sarjana nanti. Ayah dan Ibu
akan bangga melihatmu.” (Hal.129)
6.
Perjuangan untuk dapat bertahan di tanah ini tidaklah mudah. Butuh kerja keras,
kesabaran, ketekunan serta gotong royong antar semua transmigran. (Hal. 132)
7.
Dalam segala upaya, kami mencoba bangkit. Kami belajar dari pengalaman untuk
meraih hasil panen yang lebih baik. (Hal. 138)
8.
“Silakan masuk, Bu.” Karyawati ini membukakan pintu. Dengan sikap penuh hormat,
ia mempersilakan kami masuk. (Hal. 154)
9.
“Kak Wulan...” Tiba-tiba Bungsu memanggil nama itu. (Hal.155)
ü Dan kini Sulung telah lulus
kuliah. Namun terjadinya hal itu masih membuat Restiana sedih berkelanjutan.
Semua disebabkan karena ditengah-tengah perjuangannya, ia kini malah jarang
mendapatkan kabar dari anak pertamanya, Sulung.
1.
Menurut isi surat dalam genggamanku, saat ini Sulung bersama tiga temannya
telah berangkat ke Malaysia. (Hal. 143)
2.
“Apa yang baru kupikirkan? Tidak mungkin Sulung melupakan ibunya! Ia sangat
sayang dan cinta padaku. Tentu ia memutuskan kepergiannya dengan tergesa dengan
kondisi yang memaksa. Mungkin perusahaan tersebut tidak memberinya banyak waktu
dan pilihan.” Berbagai spekulasi muncul dari dalam benakku.
3. “Ya
Allah... lindungilah putraku, ampuni segala dosa dan khilafnya. Ya Allah,
ingatkanlah dirinya ketika lupa, tegurlah ketika ia lalai, dan bimbinglah ia
ketika tersesat. Ya Allah, sungguh aku mencintainya, dan kepada-Mu kutitipkan
keselamatannya.” Sebuah doa kupanjatkan kepada-Nya.
ü Disusul pernikahan Bungsu dengan
Junaedi Ansor salah satu anggota ABRI. Hal inilah yang akhirnya membawa
Restiana berpindah tempat tinggal dari Tengah. Dengan kabar yang tak kunjung
datang dari Sulung, membuat Restiana resah. Karena setelah bertahun-tahun
Sulung tak lagi mengirim surat, kabar terakhir adalah Sulung telah lulus kuliah
dan bekerja di Malaysia dengan beberapa temannya.
1.
Sayang aku tidak dapat memberi kabar kepada Sulung mengenai hari bahagia ini.
Aku sendiri sudah tidak tahu lagi keberadaannya saat ini. (Hal. 168)
2.
“...Pesan Ibu, ‘jadilah istri yang baik, muliakanlah suamimu karena disitu ada
surgamu, jangan pernah engkau putus asa dalam masa-masa sulit, dan janganlah
engkau terlena dalam kegembiraan, dan selalulah kalian bertaqwa kepada-Nya. Doa
ibu selalu bersama kalian...” Pesanku pada Bungsu. (Hal. 170)
3.
Setelah Bungsu menikah, aku diajak tinggal bersama mereka. Bukan di Bengkulu
melainkan di Yogyakarta. (Hal. 171)
ü Tanpa disangka ternyata
Sulung terjerat sebuah kasus selama ini. Kasus ini membuat hati Restiana
mengalami guncangan lantaran tak menerima pernyataan bahwa Sulung ternyata
tidak pernah menamatkan kuliahnya, melainkan melakukan hal yang tidak terpuji.
Hal inilah yang kemudian membuat Restiana mengalami kekecewaan. Apalah arti
dari semua perjuangannya selama ini?
1.
Sejak saat itu aku jatuh sakit. Hampir seluruh hari hanya kuhabiskan di atas
kasur pembaringan. (Hal.182)
2.
Kuteguk habis obat pemberiannya. Bukan karena aku mengharap kesembuhan,
melainkan karena aku tak ingin melihat anakku ini bersedih. Sejujurnya aku
sudah tidak memedulikan keadaanku. (Hal. 183)
3.
“Maaf, Bu. Semua memang benar demikian adanya. Bahkan dahulu, ia sempat
tertangkap namun kemudian melarikan diri. Saat ini kami sudah mengerahkan
seluruh jajaran di daerah agar bisa membengkuknya. Mohon agar Bapak dan Ibu
bersedia memberikan informasi kepada kami jika suatu saat Erlang, alias Boy,
alias Sulung bin Handoko Suwarno menghubungi kalian.” Ucap salah seorang tamu
dengan cukup tegas.
“Tetapi, Pak, yang kami tahu, Kakak ada di Malaysia. Dia
selesai kuliah lalu pergi ke Malaysia...” kembali aku mendengar suara Bungsu
yang sedang berbicara dengan polisi.
“Maaf, Bu. Menurut data dan penyelidikan kami, Kakak Ibu
yang Bernama Sulung memang sempat kuliah, namun dia tidak pernah
menyelesaikannya. Data yang kami peroleh, dia mulai terlibat dalam beberapa
kasus pencurian kecil sejak berhenti dari kuliahnya. Dan sejak tahun 1993, dia
menjadi buronan karena terlibat dalam sindikat peredaran narkotika bersama
dengan kawan-kawannya. Dia selalu berpindah-pindah dalam menjalankan operasinya
sehingga kami kesulitan untuk melacaknya. Untuk itu, kami mohon bantuan dari
seluruh anggota keluarga agar dapat bekerjasama. Akan lebih baik apabila dia
menyerahkan diri.” Jelas sang polisi panjang lebar. (Hal. 185-187)
4.
Demi melihat kenyataan ini aku begitu shock. Entah apa yang
kemudian terjadi, tiba-tiba tubuhku berguncang hebat. Aku tak bisa lagi
melihat, semuanya menjadi gelap. (Hal. 188)
5.
“Ibu yang sabar, ya. Menurut Dokter, Ibu terkena stroke.” Jelas Bungsu
singkat dengan suara yang sangat berat. (Hal. 189)
6.
“Astagfirullah, cobaan apa lagi yang Kau berikan pada hamba, Ya Allah. Ampuni
hamba atas segala khilaf yang telah kulakukan.” Ucapku di dalam batin. (Hal.
189)
7.
Sulung ternyata telah mengoyak tirai kasih dan kepercayaan yang kuberikan
padanya. (Hal. 190)
8.
Hanya kebohongan semata yang ia kabarkan, dan hanya gelas kosong yang ia
jadikan pelega dahagaku. (Hal. 190)
ü Ketika Restiana telah
memasuki rumah sakit, karena keadaannya yang semakin hari semakin memburuk.
Ternyata Junaedi mendapatkan amanah untuk berpindah tempat tinggal demi
menjalankan tugasnya. Bungsu pun tak bisa jika harus meninggalkan Junaedi
sendirian. Akhirnya mereka pun sepakat untuk menaruh Restiana di tempat yang
sangat jauh dari ketiga anaknya. Dan di tempat itulah Restiana menghembuskan
napas terakhirnya tanpa didampingi oleh salah satu anaknya. Akhir hidup
Restiana tanpa satu orang pun anaknya membuatnya seakan kecewa dan sedih.
1.
“Saya mendapat surat tugas dari atasan langsung dari pusat.” Ucap Junaedi
sambil menyerahkan secarik kertas pada Bungsu. (Hal. 192)
2.
“Maafkan Bungsu, Bu, kami belum cerita. Kami akan pindah, Bu.” Jelasnya. (Hal.
192)
3.
“Ibu... apapun yang kami lakukan, kumohon Ibu percaya pada kami.” Tiba-tiba
Bungsi bicara dengan nada yang sedikit berat dan dipaksakan. (Hal. 195)
4.
“Tempat apakah ini? Mengapa Bungsu membawaku ke sini? Hatiku bertanya-tanya.”
(Hal.197)
5.
“Panti Werdha Dharma Sejahtera” sebuah papan nama yang kubaca membuat
tenggorokanku tiba-tiba tercekat. Seluruh tubuhku mendadak lemas. Tidak ada
yang perlu dijelaskan lagi. Kini aku paham apa maksud mereka membawaku ke sini.
“Ya Tuhan, inikah kehendak-Mu?”
Tanyaku dalam hati.
“Maafkan aku, Bu... Mas Junaedi dapat tugas di Aceh. Aku
tidak punya pilihan. Aku harus mendampinginya, Bu...” Ucap Bungsu sambil
menangis.
“Maafkan kami, Bu, perjalanan ini terlalu jauh dan
berbahaya. Kami tak sampai hati membawamu.” Ucap menantuku ini. (Hal. 198)
6.
“Ibu... kami sayang padamu. Bungsu yakin ini yang terbaik bagimu. Maafkan kami,
Bu. Bungsu tidak bisa merawatmu lagi. Bungsu harus menemani Kak Junaedi
bertugas.” Bungsu mencoba memberi penjelasan demi penjelasan.
“Kkkak Ttengah kkmmna?” Tanyaku pada
Bungsu tentang Tengah.
“Maaf, Bu. Aku tidak bisa mengantarkan Ibu ke Kak Tengah.
Jarak antara Yogyakarta dengan Bengkulu terlalu jauh, aku harus segera
berangkat ke Aceh.” Jawabnya dengan derai air mata. (Hal. 199)
7.
Begitupun dengan Tengah, ia juga belum pernah sekali pun menghubungiku.
(Hal.200)
8. Aku
masih belum menerima semua ini dengan lapang hati. Aku masih belum yakin kalau
anak-anakku tega melakukan semua ini padaku. (Hal. 201)
9.
Mungkin mereka semua telah hidup nyaman dan lupa dengan perjuangan yang telah
kulakukan untuk mereka. (Ha.201)
10. Aku sudah mendidik mereka
seperti yang kau minta. Tapi ternyata mereka semua lupa akan diriku. Mereka
lupa dengan perjuangan yang telah kita lakukan selama ini. (Hal.202)
11. Tanggal 10 September 2011.
Kabut duka menyelimuti Panti Werdha Dharma Sejahtera. Salah satu penghuni panti
itu telah meninggal dunia. Ya, Restiana. Tepat di hari itu, Restiana akhirnya
meninggal dunia tanpa seorang anak pun di sampingnya. (Hal.205)
Kesimpulan
Berdasarkan kisah yang telah saya baca pada novel yang berjudul “Jangan Buang
Ibu, Nak...” menggambarkan sikap seorang anak yang tidak berterima kasih pada
ibunya. Kasih sayang
tulus yang telah Restiana berikan, seakan-akan hanya angin berlalu bagi ketiga
anaknya. Semua hasil kerja kerasnya seakan-akan tidak bernilai. Hal inilah yang
membuat Restiana semakin tidak mengerti mengapa semua kebaikan yang telah ia
lakukan mendapatkan hasil yang seperti ini. Hingga di akhir hidupnya, ia harus
berada di suatu tempat, dimana terdapat banyak orang sebaya dengannya yang
bernasib sama, yaitu karena anaknya yang tidak mampu merawatnya lagi.
Novel yang
telah dikarang oleh Wahyu Derapriyangga yang berjumlah 209 halaman ini telah dirancang
sedemikian baik. Tata bahasanya yang mudah dipahami, letak dan cara
penulisannya, serta desain covernya yang menarik membuat para pembaca sangat
antusias dan tertarik akan kisah yang telah disuguhkan oleh penulis. Kekurangan
pada novel ini hanya terletak pada warna kertas yang kurang cerah.
Dengan
membaca novel ini, membuat seorang anak menjadi sadar akan kerja keras seorang
ibu terhadap kesuksesannya kelak. Hingga tidak membuat si anak tersebut lupa
diri. Apa yang telah seorang ibu berikan itu semua tulus untuk si anak. Maka
dari sekarang, berusahalah bersikap baik dengan ibu kita. Jangan pernah
sia-siakan ibu kita. Rawatlah ibu kita meski beliau sudah tidak mampu
menegakkan kedua kakinya lagi. Sayangilah beliau meski kerutan-kerutan wajah
yang nampak terlihat banyak itu membuatnya tidak secantik rupanya yang dulu.
Peluklah beliau, seakan-akan kita memberi isyarat padanya bahwa kita masih ada
bersamanya dan akan menemaninya hingga akhir hidupnya.
Penutup
Demikianlah laporan buku yang telah saya buat berdasarkan hasil observasi pada
sebuah karya tulis berupa novel. Novel ini menceritakan tentang kisah kehidupan
sehari-hari. Dengan membaca serta menghayati setiap kejadian yang terjadi, maka
akan memiliki nilai-nilai positif untuk para pembaca.
Dalam pembuatan laporan buku ini tentunya memerlukan ketelitian, ketelatenan
serta kesabaran yang tinggi. Setiap tahapan selalu saya konsultasikan dengan
guru pembimbing saya. Hal ini saya lakukan agar dalam penulisan serta tata
bahasanya dapat lebih sistematis dan saat penyajiannya dapat diterima dengan
baik.
Namun saya menyadari bahwa disetiap pekerjaan atau tugas yang saya lakukan
masih jauh dari kesempurnaan. Saya juga masih dalam proses belajar, maka akan
lebih baik jika para pembaca berkenan memberikan kritik serta saran yang dapat
membangun. Agar kedepannya, laporan buku yang telah saya buat dapat lebih baik
lagi.
Daftar
Pustaka
Derapriyangga, Wahyu. 2014. Jangan
Buang Ibu, Nak. Jakarta: Wahyu Qolbu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar