Sesaat ketika senja mulai memperlihatkan goresan-goresan jingganya.
Dengan ditemani dawai kesunyian aku terduduk manis mengenang semua yang
telah terjadi pada keluarga ini. Entah kenapa saat memori-memori itu
masuk kembali, perasaan ini jadi kacau tak karuan bak kertas yg dirobek
kecil-kecil lalu dihambur begitu saja. Ya aku tau, aku hanya seorang
putri sulung yang masih remaja. Tak seharusnya aku mengerti masalah
orang dewasa seperti ini. Apalagi jika sampai ikut campur kedalamnya.
Tetapi jika goresan pena Sang Pencipta menakdirkan aku harus seperti
itu, apa daya ku menolak-Nya.
"Ayah hanya ingin kamu tau yg
sebenarnya, nak." Ucapnya ditengah perbincangan kaku denganku. "Tapi
yah, Nadia tau apa yang nggak ayah ketahui dari ibu. Nadia tau sebab apa
masalah ini bermula. Hanya saja.." belum selesai kalimatku sudah
dipotong oleh ayah. "Cukup Nadia! Belum tentu yang ibumu bilang itu
benar semua. Ayah hanya ingin kamu melihat dengan kebenaran. Itu saja."
Sedari
kecil aku memang didik dengan mental baja. Hinga jika ada sedikit
goresan besi pun aku masih kuat. Mungkin hidupku tak sama seperti mereka
yang seumuran denganku. Tapi aku percaya hidupku adalah yang terbaik
dan atas rencana indah-Nya. Saat kelopak mataku mulai membendung
sungai-sungai yang tak tau dari mana sumbernya. Kekuatanku seakan hilang
ditelan alam. Hanya dengan menengadah kedua tanganku aku bertumpu.
Memohon doa pada Sang Penguasa Hati agar terkuatkan atas beratnya
perjalanan hidup.
Aku tau mungkin mengeluh bukan jalan terbaik.
Bahkan itu malah membuat semua semakin terperangkap dalam lorong
kegelapan ditemani suara gemuruh yang semakin membuat suasana mencekam.
Entah aku juga belum mengerti mengapa kedua orang tuaku lebih memilih
suasana seperti ini. Apa mereka tau perasaanku saat ini dengan melihat
keadaan mereka? "Nadia merasa tak berguna yah bu. Nadia mungkin tak
sepintar profesor yang mampu membuat alat tercanggih demi kebutuhannya.
Tapi nadia tak punya bahu untuk menyenderkan tangis ini. Kini Nadia
hanya mampu bersembunyi dibalik senyum. Nadia hanya tak mau ayah dan ibu
melihat putri sulung yang telah didik mental baja itu terlihat lemah
bak lapuknya kayu yang dimakan rayap." Ucap kata hatiku saat mengingat
semua kejadian perih yang menimpa lorong hatiku ini.
Saat
tenar-tenarnya remaja putri kecewa karena lelaki yang tak berhati
pengertian. Aku malah lain kain lain jenisnya. Kecewa karna kerukunan
antara kedua orang tuaku yang lambat laun semakin memudar. "Gak Nadia!
Kamu bukan remaja lemah. Kamu wanita kuat yang air matanya saja tak
ingin terlihat oleh publik." Tutur bibir hatiku yang sedari tadi mungkin
tak suka melihatku lemat tak berdaya. Diluar sana pasti banyak yang
lebih sedih daripada aku dan mereka saja bisa kuat. Lalu mengapa aku
tidak? Aku juga pasti bisa!
Ketika guratan jingga mulai berganti
dengan sinar putih pucat sang rembulan, aku pun memutuskan untuk
membaringkan tubuh kurus ini. Mencoba memejamkan kedua kelopak mataku.
Aku tau lelapku malam ini pun takkan memulaskanku dalam buaian mimpi
indah. Mungkin sangat susah saat mereka ada diposisiku. Mereka terlalu
gembira dan hanyut dalam kisah hidup mereka yang tak pernah tergoncang
badai sepertiku.
Sejujurnya permasalahan yang membuat kedua orang
tuaku mematung dalam kesunyian hanya satu. Mereka tak saling menghargai
pengorbanan satu sama lain disertai gengsi yang tertulis dengan tinta
permanen. Itu saja. Selebihnya mereka saling perhatian. "Beli bukaan
sayur santan isi tempe tahu ya, nak. Ayahmu kan menyukainya." Terdengar
kalimat yang tak diketahui langsung oleh ayahku. Dan aku yakin jika ayah
mendengarnya, pasti akan luluh hatinya. Bahkan dalam diam mereka tetap
saling khawatir. "Gimana keadaan toko ibumu, nak. Mudah-mudahan selalu
ramai ya, nak." Terlihat raut khawatir dalam gejolak hati ayahku yang
mungkin ibuku tak pernah tau hal itu. Dan rasa sendu ini perlahan
menghasilkan butiran-butiran air diujung bola mataku.
Komunikasi
yang terhenti sebab harga diri yang meninggi bak gunung, yang membuat
mereka tak mengetahui perasaan lawan hatinya. Entah aku juga belum
mengerti bagaimana merangkai kata monolog itu menjadi satu dialog utuh.
Kembali lagi aku hanya seorang remaja, putri pula. Yang angannya hanya
berakting dalam sinetron. Keberaniannya pun tak seperti badai awan yang
suara gemuruhnya mampu melunakkan beton baja.
"Yaa Rabb.. hamba
bersimpuh hanya kepadaMu. Merendahkan diri serendah-rendahnya didepanMu.
Dengan segenap kemampuanku, aku tegak dalam larutnya malam, berselimut
diantara dingin yang menusuk tulang serta persendianku. Lalu aku
bersembunyi dalam keheningan. Aku berkata dalam doaku dan menengadahkan
kedua tangan kecilku ini untuk memohon hanya kepadaMu. Aku tau, aku
hanyalah seorang anak yang lemah. Aku pun masih membutuhkan bahu seorang
ayah untuk menyenderkan tangisku. Aku juga masih memerlukan dekap
hangat ibuku saat perasaan ini kacau. Namun semua ini takkan kudapat yaa
Rabb.. terlebih saat sang langit biru itu mulai tertutupi gumpalan awan
abu. Lihat yaa Rabb lihaat.. langit indah itu kini tak lagi cerah,
seperti itulah hatiku saat ini. Bergejolak dalam buaian semu. Aku
menyadarinya yaa Rabb, jika mengeluh itu tidak baik. Tapi sampai kapan
goresan luka ini akan kututupi dengan senyumku dan sampai kapan aku
membohongi semua orang dengan senyum ini. Akankah hanya diriku seseorang
yang terapit diantara dua gelombang laut? Tapi mengapa yaa Rabb.. apa
mungkin selama ini balutan dosaku kian meninggi melebihi gunung atau
bahkan meluas melebihi sang laut? Hanya satu pintaku dikesunyian ini yaa
Rabb.. kembalikanlah mereka seperti halnya saat mereka saling mencintai
dulu. Aku mengetahui yaa Rabb, bahwa Engkau akan memberikan apa yang
aku butuhkan dan bukan yang aku mau. Aku tau tetesan penaMu-lah yang
akan abadi diantara lembaran kisah. Mungkin Engkau takkan berkata, tapi
aku yakin waktu yang akan mewakili jawabanMu nanti yaa Rabb.. entah
bagaimana caraku bisa sekuat ini. Tapi tanpa dampinganMu, aku hanyalah
selembar kapas kecil yang akan melaju dalam ambang-ambang udara. Syukron
yaa Rabb.. aku tau Engkau sangat menyayangiku lebih dari anak sebayaku
yang skenarionya tak serumit diriku. Dengan itu pun rasa congkakku tak
akan kupelihara. Bagaimanapun aku hanya seorang anak lemah yang kuat
karenaMu.." ucapku dalam doa dikeheningan malam. Lalu aku pun
melanjutkan lelapku dengan berharap mimpi indah itu akan menjemput
dikeberadaanku saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar