Senin, 21 Juli 2014

Cerpen - Senyum Sebagai Tirai Kebohongan

Sesaat ketika senja mulai memperlihatkan goresan-goresan jingganya. Dengan ditemani dawai kesunyian aku terduduk manis mengenang semua yang telah terjadi pada keluarga ini. Entah kenapa saat memori-memori itu masuk kembali, perasaan ini jadi kacau tak karuan bak kertas yg dirobek kecil-kecil lalu dihambur begitu saja. Ya aku tau, aku hanya seorang putri sulung yang masih remaja. Tak seharusnya aku mengerti masalah orang dewasa seperti ini. Apalagi jika sampai ikut campur kedalamnya. Tetapi jika goresan pena Sang Pencipta menakdirkan aku harus seperti itu, apa daya ku menolak-Nya.

"Ayah hanya ingin kamu tau yg sebenarnya, nak." Ucapnya ditengah perbincangan kaku denganku. "Tapi yah, Nadia tau apa yang nggak ayah ketahui dari ibu. Nadia tau sebab apa masalah ini bermula. Hanya saja.." belum selesai kalimatku sudah dipotong oleh ayah. "Cukup Nadia! Belum tentu yang ibumu bilang itu benar semua. Ayah hanya ingin kamu melihat dengan kebenaran. Itu saja."

Sedari kecil aku memang didik dengan mental baja. Hinga jika ada sedikit goresan besi pun aku masih kuat. Mungkin hidupku tak sama seperti mereka yang seumuran denganku. Tapi aku percaya hidupku adalah yang terbaik dan atas rencana indah-Nya. Saat kelopak mataku mulai membendung sungai-sungai yang tak tau dari mana sumbernya. Kekuatanku seakan hilang ditelan alam. Hanya dengan menengadah kedua tanganku aku bertumpu. Memohon doa pada Sang Penguasa Hati agar terkuatkan atas beratnya perjalanan hidup.

Aku tau mungkin mengeluh bukan jalan terbaik. Bahkan itu malah membuat semua semakin terperangkap dalam lorong kegelapan ditemani suara gemuruh yang semakin membuat suasana mencekam. Entah aku juga belum mengerti mengapa kedua orang tuaku lebih memilih suasana seperti ini. Apa mereka tau perasaanku saat ini dengan melihat keadaan mereka? "Nadia merasa tak berguna yah bu. Nadia mungkin tak sepintar profesor yang mampu membuat alat tercanggih demi kebutuhannya. Tapi nadia tak punya bahu untuk menyenderkan tangis ini. Kini Nadia hanya mampu bersembunyi dibalik senyum. Nadia hanya tak mau ayah dan ibu melihat putri sulung yang telah didik mental baja itu terlihat lemah bak lapuknya kayu yang dimakan rayap." Ucap kata hatiku saat mengingat semua kejadian perih yang menimpa lorong hatiku ini.

Saat tenar-tenarnya remaja putri kecewa karena lelaki yang tak berhati pengertian. Aku malah lain kain lain jenisnya. Kecewa karna kerukunan antara kedua orang tuaku yang lambat laun semakin memudar. "Gak Nadia! Kamu bukan remaja lemah. Kamu wanita kuat yang air matanya saja tak ingin terlihat oleh publik." Tutur bibir hatiku yang sedari tadi mungkin tak suka melihatku lemat tak berdaya. Diluar sana pasti banyak yang lebih sedih daripada aku dan mereka saja bisa kuat. Lalu mengapa aku tidak? Aku juga pasti bisa!

Ketika guratan jingga mulai berganti dengan sinar putih pucat sang rembulan, aku pun memutuskan untuk membaringkan tubuh kurus ini. Mencoba memejamkan kedua kelopak mataku. Aku tau lelapku malam ini pun takkan memulaskanku dalam buaian mimpi indah. Mungkin sangat susah saat mereka ada diposisiku. Mereka terlalu gembira dan hanyut dalam kisah hidup mereka yang tak pernah tergoncang badai sepertiku.

Sejujurnya permasalahan yang membuat kedua orang tuaku mematung dalam kesunyian hanya satu. Mereka tak saling menghargai pengorbanan satu sama lain disertai gengsi yang tertulis dengan tinta permanen. Itu saja. Selebihnya mereka saling perhatian. "Beli bukaan sayur santan isi tempe tahu ya, nak. Ayahmu kan menyukainya." Terdengar kalimat yang tak diketahui langsung oleh ayahku. Dan aku yakin jika ayah mendengarnya, pasti akan luluh hatinya. Bahkan dalam diam mereka tetap saling khawatir. "Gimana keadaan toko ibumu, nak. Mudah-mudahan selalu ramai ya, nak." Terlihat raut khawatir dalam gejolak hati ayahku yang mungkin ibuku tak pernah tau hal itu. Dan rasa sendu ini perlahan menghasilkan butiran-butiran air diujung bola mataku.

Komunikasi yang terhenti sebab harga diri yang meninggi bak gunung, yang membuat mereka tak mengetahui perasaan lawan hatinya. Entah aku juga belum mengerti bagaimana merangkai kata monolog itu menjadi satu dialog utuh. Kembali lagi aku hanya seorang remaja, putri pula. Yang angannya hanya berakting dalam sinetron. Keberaniannya pun tak seperti badai awan yang suara gemuruhnya mampu melunakkan beton baja.

"Yaa Rabb.. hamba bersimpuh hanya kepadaMu. Merendahkan diri serendah-rendahnya didepanMu. Dengan segenap kemampuanku, aku tegak dalam larutnya malam, berselimut diantara dingin yang menusuk tulang serta persendianku. Lalu aku bersembunyi dalam keheningan. Aku berkata dalam doaku dan menengadahkan kedua tangan kecilku ini untuk memohon hanya kepadaMu. Aku tau, aku hanyalah seorang anak yang lemah. Aku pun masih membutuhkan bahu seorang ayah untuk menyenderkan tangisku. Aku juga masih memerlukan dekap hangat ibuku saat perasaan ini kacau. Namun semua ini takkan kudapat yaa Rabb.. terlebih saat sang langit biru itu mulai tertutupi gumpalan awan abu. Lihat yaa Rabb lihaat.. langit indah itu kini tak lagi cerah, seperti itulah hatiku saat ini. Bergejolak dalam buaian semu. Aku menyadarinya yaa Rabb, jika mengeluh itu tidak baik. Tapi sampai kapan goresan luka ini akan kututupi dengan senyumku dan sampai kapan aku membohongi semua orang dengan senyum ini. Akankah hanya diriku seseorang yang terapit diantara dua gelombang laut? Tapi mengapa yaa Rabb.. apa mungkin selama ini balutan dosaku kian meninggi melebihi gunung atau bahkan meluas melebihi sang laut? Hanya satu pintaku dikesunyian ini yaa Rabb.. kembalikanlah mereka seperti halnya saat mereka saling mencintai dulu. Aku mengetahui yaa Rabb, bahwa Engkau akan memberikan apa yang aku butuhkan dan bukan yang aku mau. Aku tau tetesan penaMu-lah yang akan abadi diantara lembaran kisah. Mungkin Engkau takkan berkata, tapi aku yakin waktu yang akan mewakili jawabanMu nanti yaa Rabb.. entah bagaimana caraku bisa sekuat ini. Tapi tanpa dampinganMu, aku hanyalah selembar kapas kecil yang akan melaju dalam ambang-ambang udara. Syukron yaa Rabb.. aku tau Engkau sangat menyayangiku lebih dari anak sebayaku yang skenarionya tak serumit diriku. Dengan itu pun rasa congkakku tak akan kupelihara. Bagaimanapun aku hanya seorang anak lemah yang kuat karenaMu.." ucapku dalam doa dikeheningan malam. Lalu aku pun melanjutkan lelapku dengan berharap mimpi indah itu akan menjemput dikeberadaanku saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar