"Hingga mentari tak terlihat pun, aku masih menyayangimu." ucapku.
Ketika
hembusan angin malam tidak lepas memeluk erat tubuhku. Aku yang hanya
terdiam memikirkan sebuah khayalan tak berguna. Saat itu pun aku hanya
bertumpu pada kekuatan kedua kakiku. Meski sampai saat ini rasa sesal
dan kecewa itu tidak henti menampar pikiran serta perasaanku. Ya, saat
kedua mataku mulai tertuju pada salah satu penghuni langit terindah
malam itu. Dan saat itu bayangnya selalu datang dengan tawa dan candanya
yang dulu membuatku seakan ada diantara para penghuni langit terindah
itu.
Pikiranku mungkin terlalu singkat dengan menganggap dia
sebagai salah satu penghuni langit terindah yang kurasa mampu
menggetarkan hati ini. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata dia
tidak lebih dari apa yang aku pikirkan. Bahkan dia mampu mendatangkan
hujan diantara indahnya pelangi. Aku tidak tahu apa ada sesuatu yang dia
sembunyikan dibalik tatapan matanya malam itu. Kini yang kurasa hanya
kekosongan tanpa adanya bintang serta rembulan yang dulunya datang
menghibur rasa sedihku. Aku pun masih menyimpan tanda tanya besar
untuknya dan tidak tahu kapan aku dapat mengutarakannya langsung.
Ketika
itu aku tidak mengenal sama sekali siapa dia dan dari mana asalnya.
Terkadang hati kecilku bertanya-tanya "kok dia bisa tiba-tiba hadir
dipelupuk mataku?" Dan saat itu aku hanya dapat mengikuti skenario alam
yang telah tercipta untukku. Membaca serta menikmati semuanya agar rasa
penasaranku tidak datang dengan segera. Aku tahu, seiring berjalannya
waktu, semua pasti akan terjawab dengan sendirinya.
Bulan demi
bulan pun berlalu. Ketika awal yang kudapati dia tidak jauh dari ruang
kelas tempatku mengadu kemampuanku. David, ya, dia bernama Dafid, anak
kelas XI(waktu pertama kukenal dia), sedangkan aku waktu itu masih duduk
dibangku kelas VIII smp. Karna waktu berjalan cepat, kini aku dan dia
mulai dekat. Bahkan panggilan itu pun mulai terdengar. Saat aku
memanggilnya 'mas', aku juga tidak tahu kenapa panggilan itu yang
harus jadi pilihannya agar aku tidak memanggilnya 'kakak' lagi. Tapi,
pikiranku tidak pernah jauh saat itu.
Dia termasuk hebat juga
bisa melunakkan batang besi kayak aku ini. Sekarang aku tetap pada
skenario, melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Hingga pada suatu
hari aku dapat memandangnya langsung. "Hai, ding! Hehe.. udah liat,
kan?" ucapnya sambil tertawa. "Hehe.. Iya." balasku sembari tersenyun
malu. Sebelumnya, ya, aku cukup takut, ragu, malu, bahkan gemetar. Dan
pada saat pertemuan itu, tidak tahu kenapa kedua mataku terasa berat
untuk membalas pandangannya. Dengan rasa malu, aku coba mempersingkat
pertemuan itu dan kembali melanjutkan kegiatanku.
Haha.. Aku
sempat memandangnya secepat kilat. Disudut matanya, aku seperti melihat
sebuah cahaya didalam lorong gelap yang tidak berujung. Namun segera
kubuang jauh-jauh pikiran itu. Aku pun tersadar, mungkin ini terlalu
cepat dan aku juga harus tetap mengikuti kemana alur skenario itu
berakhir. Meski terkadang sifat manusia yang tidak sabar untuk
mengetahui sesuatu selalu menghantui pikiranku. Tapi, untuk saat ini aku
mencoba menahan semua tanggapanku yang tiba-tiba saja terlontar
diantara kedua bibir hatiku. Menurutku tanggapan itu juga tidak akan
menjadi nyata.
Dafid adalah orang yang humoris. Saking
humorisnya, aku sampai susah membedakan saat dia serius atau tidak.
Mengingatnya membuatku tidak berhenti tersenyum, karna saat tawanya itu
hadir, mampu membuat dunia yang sunyi menjadi ramai. "Eh, kenapa aku
jadi memikirkan dia?" ucapku saat tersadar dari pemikiran konyolku tadi.
Seiring
bergulirnya mentari di ufuk barat dan disaat itu pula dia berhasil
menggenggam rasa kagumku padanya, meski dia tidak tahu perasaan itu.
Semua terjadi secara bersamaan, saat aku mulai menyimpan rasa padanya
dan disaat itu pula dia mengutarakan perasaannya. Sejauh ini aku masih
belum bisa membedakan saat dia serius atau tidak, hal itu juga yang
sampai sekarang membuatku semakin tertutup untuk jujur ke dia tentang
perasaanku. Rasa takut itu juga membuatku semakin terkurung, lantaran
aku tidak mau setelah kejujuranku nanti, ada sebuah jarak yang
menjauhkan. Bagiku dia seperti cahaya yang akan menuntunku keluar dari
kegelapan. "Sudah cukup kamu menghayal, tya. Mungkin selamanya semua
hanya akan ada dalam angan-anganmu saja. Biarlah, biar hanya kamu yang
mengetahui perasaan itu." Ucap kata hatiku, mengingatkan diriku agar
tidak menyesal nantinya.
Saat kedua jarum jam terus berputar
dengan cepat, perlahan semua terasa berbeda. Ternyata yang aku takutkan
sungguh terjadi. Semuanya tiba-tiba, tanpa ada sebuah alasan pasti.
Meski tetap dekat, namun tetap terasa jauh bahkan berbeda. Sesuatu yang
indah itu berakhir tanpa ada senyuman lagi. Dan kini aku merasa
terlempar jauh dari pikiranku sendiri. Mungkin ini juga salahku yang
selalu dan selalu menghayal. Sampai rasa sakit dan sedih yang tidak
pernah kuharap kehadirannya, kini hadir. Sekarang aku harus bisa
menghilangkan perasaan itu sampai tidak berbekas dan mencoba untuk tetap
bersikap seperti biasanya. Menutupi semuanya dengan senyuman ikhlas
dari kedua bibirku. Menjadi sepasang kakak beradik mungkin akan lebih
baik, meski aku sempat berharap sebelumnya.
Wkwk.. nih cerpen ngasal yg mungkin terlihat aneh yaa :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar