Minggu, 20 Juli 2014

Cerpen - Kau Hanya Mimpi Bagiku

"Hingga mentari tak terlihat pun, aku masih menyayangimu." ucapku.

Ketika hembusan angin malam tidak lepas memeluk erat tubuhku. Aku yang hanya terdiam memikirkan sebuah khayalan tak berguna. Saat itu pun aku hanya bertumpu pada kekuatan kedua kakiku. Meski sampai saat ini rasa sesal dan kecewa itu tidak henti menampar pikiran serta perasaanku. Ya, saat kedua mataku mulai tertuju pada salah satu penghuni langit terindah malam itu. Dan saat itu bayangnya selalu datang dengan tawa dan candanya yang dulu membuatku seakan ada diantara para penghuni langit terindah itu.

Pikiranku mungkin terlalu singkat dengan menganggap dia sebagai salah satu penghuni langit terindah yang kurasa mampu menggetarkan hati ini. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata dia tidak lebih dari apa yang aku pikirkan. Bahkan dia mampu mendatangkan hujan diantara indahnya pelangi. Aku tidak tahu apa ada sesuatu yang dia sembunyikan dibalik tatapan matanya malam itu. Kini yang kurasa hanya kekosongan tanpa adanya bintang serta rembulan yang dulunya datang menghibur rasa sedihku. Aku pun masih menyimpan tanda tanya besar untuknya dan tidak tahu kapan aku dapat mengutarakannya langsung.

Ketika itu aku tidak mengenal sama sekali siapa dia dan dari mana asalnya. Terkadang hati kecilku bertanya-tanya "kok dia bisa tiba-tiba hadir dipelupuk mataku?" Dan saat itu aku hanya dapat mengikuti skenario alam yang telah tercipta untukku. Membaca serta menikmati semuanya agar rasa penasaranku tidak datang dengan segera. Aku tahu, seiring berjalannya waktu, semua pasti akan terjawab dengan sendirinya.

Bulan demi bulan pun berlalu. Ketika awal yang kudapati dia tidak jauh dari ruang kelas tempatku mengadu kemampuanku. David, ya, dia bernama Dafid, anak kelas XI(waktu pertama kukenal dia), sedangkan aku waktu itu masih duduk dibangku kelas VIII smp. Karna waktu berjalan cepat, kini aku dan dia mulai dekat. Bahkan panggilan itu pun mulai terdengar. Saat aku memanggilnya 'mas', aku juga tidak tahu kenapa panggilan itu yang harus jadi pilihannya agar aku tidak memanggilnya 'kakak' lagi. Tapi, pikiranku tidak pernah jauh saat itu.

Dia termasuk hebat juga bisa melunakkan batang besi kayak aku ini. Sekarang aku tetap pada skenario, melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Hingga pada suatu hari aku dapat memandangnya langsung. "Hai, ding! Hehe.. udah liat, kan?" ucapnya sambil tertawa. "Hehe.. Iya." balasku sembari tersenyun malu. Sebelumnya, ya, aku cukup takut, ragu, malu, bahkan gemetar. Dan pada saat pertemuan itu, tidak tahu kenapa kedua mataku terasa berat untuk membalas pandangannya. Dengan rasa malu, aku coba mempersingkat pertemuan itu dan kembali melanjutkan kegiatanku.

Haha.. Aku sempat memandangnya secepat kilat. Disudut matanya, aku seperti melihat sebuah cahaya didalam lorong gelap yang tidak berujung. Namun segera kubuang jauh-jauh pikiran itu. Aku pun tersadar, mungkin ini terlalu cepat dan aku juga harus tetap mengikuti kemana alur skenario itu berakhir. Meski terkadang sifat manusia yang tidak sabar untuk mengetahui sesuatu selalu menghantui pikiranku. Tapi, untuk saat ini aku mencoba menahan semua tanggapanku yang tiba-tiba saja terlontar diantara kedua bibir hatiku. Menurutku tanggapan itu juga tidak akan menjadi nyata.

Dafid adalah orang yang humoris. Saking humorisnya, aku sampai susah membedakan saat dia serius atau tidak. Mengingatnya membuatku tidak berhenti tersenyum, karna saat tawanya itu hadir, mampu membuat dunia yang sunyi menjadi ramai. "Eh, kenapa aku jadi memikirkan dia?" ucapku saat tersadar dari pemikiran konyolku tadi.

Seiring bergulirnya mentari di ufuk barat dan disaat itu pula dia berhasil menggenggam rasa kagumku padanya, meski dia tidak tahu perasaan itu. Semua terjadi secara bersamaan, saat aku mulai menyimpan rasa padanya dan disaat itu pula dia mengutarakan perasaannya. Sejauh ini aku masih belum bisa membedakan saat dia serius atau tidak, hal itu juga yang sampai sekarang membuatku semakin tertutup untuk jujur ke dia tentang perasaanku. Rasa takut itu juga membuatku semakin terkurung, lantaran aku tidak mau setelah kejujuranku nanti, ada sebuah jarak yang menjauhkan. Bagiku dia seperti cahaya yang akan menuntunku keluar dari kegelapan. "Sudah cukup kamu menghayal, tya. Mungkin selamanya semua hanya akan ada dalam angan-anganmu saja. Biarlah, biar hanya kamu yang mengetahui perasaan itu." Ucap kata hatiku, mengingatkan diriku agar tidak menyesal nantinya.

Saat kedua jarum jam terus berputar dengan cepat, perlahan semua terasa berbeda. Ternyata yang aku takutkan sungguh terjadi. Semuanya tiba-tiba, tanpa ada sebuah alasan pasti. Meski tetap dekat, namun tetap terasa jauh bahkan berbeda. Sesuatu yang indah itu berakhir tanpa ada senyuman lagi. Dan kini aku merasa terlempar jauh dari pikiranku sendiri. Mungkin ini juga salahku yang selalu dan selalu menghayal. Sampai rasa sakit dan sedih yang tidak pernah kuharap kehadirannya, kini hadir. Sekarang aku harus bisa menghilangkan perasaan itu sampai tidak berbekas dan mencoba untuk tetap bersikap seperti biasanya. Menutupi semuanya dengan senyuman ikhlas dari kedua bibirku. Menjadi sepasang kakak beradik mungkin akan lebih baik, meski aku sempat berharap sebelumnya.

Wkwk.. nih cerpen ngasal yg mungkin terlihat aneh yaa :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar